Teaching and Learning Process with Ergonomic Approach Reduce Musculoskeletal Disorder and Fatigue Student of Institute Teacher Training and Education Saraswati Tabanan

DIPRESENTASIKAN PADA SEMINAR INTERNASIONAL DI MALAYSIA/ LANGKAWI

We invite you to submit a paper abstract (800 words) to the Second
International Conference of the Southeast Asian Network of Ergonomics
Societies. SEANES 2012 is co‐located with the Meeting of the First Human
Factors and Ergonomics Society Malaysia: HFEM 2012, on July 9 ‐ 12, 2012.
The location is the exotic island of Langkawi, Malaysia.
The conference is endorsed by the International Ergonomics Association,
http://www.iea.cc, and listed in the IEEE Conference database,
http://www.ieee.org/conferences_events, with a unique identifier #20198.
Accepted full papers (that meet the Conference evaluation criteria) will be
published in the IEEE Xplore database. The Conference proceedings will also
be published in CD format with an ISBN No.
Conference Topics include, but are not limited to, the following:
Affective Engineering Office Ergonomics Sustainable Development
Ageing Online Communities Teamwork
Agriculture Ergonomics Patient Safety Theories and Methods in HFE, HCI
Communication Product Design Training
Culture and Behaviour Quality of Work and Lifestyle Transport
Domotics and Home Devices Rehabilitation Usability
Ergonomics in Manufacturing Safety and Risk Management User Experience
Gender and Work School Ergonomics Virtual Commerce
Healthcare Service Ergonomics Visual Ergonomics
Manual Materials Handling Slips Trips and Falls Work Organization
Networks and Social Media Smart Mobility Sports and Recreation
You can submit a Full paper or a Short paper. Both types of submissions will
be blind reviewed by the International Scientific Committee.
Full papers that meet the Conference criteria for IEEE Xplore publication will
go through a double‐blind review, and a peer review.
Authors of accepted papers should register with the conference by 1 February
2012. You will then receive review comments for improvement of the final
paper submission.
Authors of the best papers will be encouraged to submit their paper for
publication in an IEA listed refereed journal.
The submission deadline has been extended to December 31, 2011. Please
upload your abstract or proposal at
https://www.easychair.org/account/signin.cgi?conf=seanes2012
We look forward to your submission and participation at SEANES 2012 – the
largest Human Factors/Ergonomics/HCI conference in Southeast Asia.
SEANES 2012 Organizing Committee
Co‐organized by
Supported by
Multimedia University Ergonomics Society of Thailand
Universiti Malaysia Sarawak Ergonomics Society of Singapore
Universiti Putra Malaysia Perhimpunan Ergonomi Indonesia
Universiti Islam Antarabangsa Malaysia Philippines Ergonomics Society
Universiti Teknologi Petronas Human Factors & Ergonomics Society of Australia
Universiti Malaysia Perlis Proton Berhad.

 

 

 

 

Teaching and Learning Process  with Ergonomic Approach  Reduce Musculoskeletal  Disorder and Fatigue  Student   of Institute Teacher Training and Education  Saraswati Tabanan

I Gusti Made Oka Suprapta1,  Nyoman Adiputra2,  Ketut Tirtayasa3, &

   I Made Sutajaya4


  1. Department of Biology Education, of Institute  Teacher Training and Education  Saraswati Tabanan, Bali, Indonesia.
  2. Faculty of Medicine Udayana University, Denpasar Bali, Indonesia.
  3. Faculty of Medicine Udayana University, Denpasar Bali, Indonesia.
  4. Ganesha University, Singaraja, Bali, Indonesia.

 

Abstract

                   Teaching and learning  process with ergonomic  approach, can manage a teaching and learning process in the classroom by following the principles of ergonomics. Thus, students in the teaching and learning process is always in healthy condition, safe, and comfortable, so that learning achievement could increase. The purpose of this research  was to determine the effect of the application of ergonomics in teaching and learning process towards musculoskeletal disorder and fatigue student   of Institute  Teacher Training and Education Saraswati Tabanan.

This research was conducted on 16 students and used treatment by subject design. It was analyzed by t-paired test.   Musculoskeletal disorders were measured by questionnaires  Nordic  body map and fatigue were measured by questionnaires 30 items of rating scales. The result of this research shown that ergonomic intervention  in teaching and learning process could reduce musculoskeletal disorder and fatigue student   of Institute  Teacher Training and Education Saraswati Tabanan.

Based  on result and discussion as above it could be concluded that, the ergonomic intervention could reduce musculoskeletal disorder about 30.50% (p < 0.05) and fatigue about 35.25% (p < 0.05).

 

Keywords: Teaching and Learning Process, Ergonomic, MSD and Fatigue

 

 

ERGONOMI

OLEH

I GUSTI MADE OKA SUPRAPTA

PENDAHULUAN

latar Belakang

Tugas seorang  designer  adalah merencanakan suatu desain produk sehingga memenuhi kepentingan si pemakai. Dalam perancangan tersebut tentunya banyak aspek harus diperhatikan, seperti karakteristik si pemakai, bahan baku, nilai sosio-budaya setempat, aspek lingkungan, estetika, faktor teknis, dan daya beli masyarakat (faktor ekonomi). Masukan dari konsumen setelah produk sebelumnya dipasarkan sangat diperlukan oleh perusahan.  Hubungan perancangan dengan proses produksi dapat ditinjau dengan menerapkan lingkaran PDCA  yaitu:  P(plan), D (do), C (check), A (action). Penciptaan produk baru ini meliputi 3 hal yaitu: (a)  produk yang sama sekali baru, (b)perubahan desain (redesaign) dan (c)  pembungkusan (packaging). Produk merupakan suatu perwujudan dari hasil designer dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Produk-produk yang dihasilkan dan diperkenalkan ke konsumen, tidak seluruhnya dapat memuaskan atau memenuhi sesuai dengan keinginan konsumen. Hal ini disebabkan, salah satu diantaranya yaitu kesulitan designer dalam menterjemahkan keinginan konsumen yang sangat bervariasi dan berubah-ubah. Meskipun demikian, secara umum seharusnya produk yang berada di pasar dapat memberikan manfaat yang besar bagi pemakainya. Tetapi kenyataannya banyak produk yang beredar di pasar tidak disukai oleh konsumen, karena konsumen merasa tidak menyukainya atau membutuhkannya akan produk tersebut. Seluruh aktivitas yang terjadi di alam semesta ini, seluruhnya selalu berhubungan dengan kepentingan manusia. Manusia selalu dijadikan objek dalam pengembangan design produk. Produk-produk yang dihasilkan diharapkan dapat memuaskan dan memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi banyak produk yang dijual dan beredar di pasar dinilai tidak ergonomis, dan manusia sebagai pengguna tidak menyadari akan hal tersebut karena tidak ada pilihan lain. Produk tersebut dibuat dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi produk tersebut dinilai tidak ergonomis, sehingga sedemikian rupa produk tersebut sedikit manfaat yang akan dirasakan oleh manusia sebagai konsumen bahkan akan memberikan efek negatif bagi penggunanya. Dengan demikian akan menguatkan hipotesis bahwa produk yang dirancang tidak menggunakan konsep ergonomis, tidak akan memberikan manfaat yang besar bagi pemakainya sehingga tidak akan diminati dan dibeli oleh manusia sebagai konsumen, dimana produk tersebut tidak akan memberikan nilai jual yang tinggi dan tidak memiliki keunggulan bersaing. Sedikit produk yang dirancang secara ergonomis, atau pemasaran produknya dengan menjual citra (image) ergonomis, bahkan masih sedikit pihak yang berkepentingan (baik produsen maupun konsumen) memahami pentingnya konsep ergonomi dalam pengembangan design produk. Hal ini disebabkan belum adanya proses sosialisasi konsep ergonomi secara terpadu dan berkesinambungan ke masyarakat luas, dimana konsep ergonomi masih dipandang sebagai konsep yang tidak ada gunanya dan membuang-buang biaya, atau setidaknya masih memberikan kesan akan membuat harga produk menjadi mahal sehingga sulit laku dan bersaing di pasaran. Anggapan dan kesan ini menjadi ganjalan dan perlu dikikis secara bertahap dan perlunya sosialisasi aplikasi konsep ergonomi dalam pengembangan design produk tidak akan membuat harga produk menjadi mahal, bahkan akan memberikan nilai tambah terhadap fungsi produk tersebut sehingga sedemikian rupa aplikasi konsep ergonomi tersebut akan memberikan nilai jual produk yang tinggi (superior customer value) dan keunggulan bersaing (competitive advantage).

Ergonomi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia (Sutalaksana, 2006), dimana secara hakiki akan berhubungan dengan segala aktivitas manusia yang dilakukan untuk menunjukkan performansinya yang terbaik. Produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan, pada dasarnya merupakan perwujudan terhadap pemenuhan keinginan manusia (customers needs) sebagai konsumen.  Keinginan konsumen tersebut dilahirkan dari keinginan manusia yang secara alamiah akan memunculkan keinginan dan harapan yang akan selaras dengan konsep ergonomi. Seorang Designer, sebagai kepanjangtanganan dari perusahaan, untuk mendesign atau merancang suatu produk yang diilhami dari keinginan konsumen (customers needs). Dalam menciptakan suatu design produk yang sesuai dengan keinginan konsumen, banyak kendala dan hambatan (constrains) yang dihadapi, seperti bervariasinya keinginan konsumen, belum tersedianya teknologi (kalaupun ada masih relatif mahal), persaingan yang ketat antar perusahaan, dan sebagainya. Terlepas dari kendala tersebut, sebagai kunci keberhasilan yaitu seorang designer harus menetapkan bahwa konsep ergonomi harus dijadikan sebagai kerangka dasar dalam pengembangan design produk, sedangkan atribut dan karakteristik lainnya dapat mengikuti sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang ada. Design produk yang dihasilkan diharapkan akan memenuhi keinginan konsumen dan diharapkan memiliki nilai tambah, dimana manfaat  yang akan dirasakan konsumen memiliki totalitas manfaat yang lebih dibandingkan biaya korbanan yang harus dikeluarkan. Dengan demikian design produk tersebut memiliki superior customer value dibandingkan pesaingnya.  Keunggulan bersaing harus diciptakan sejak design produk dan diwujudkan dengan produk jadi (finished goods) sebagai indikator performansi nyata  yang akan dilihat dan dirasakan oleh konsumen. Penilaian konsumen terhadap produk merupakan perwujudan tingkat performansi dari produk yang dihasilkan perusahaan. Kemudian apakah konsumen akan merasakan puas (satisfied) jika performansi produk sesuai dengan harapan dari keinginan konsumen, atau tidak puas (dissatisfied) jika performansi produk dibawah harapan dari keinginan konsumen, atau sangat puas (delighted) jika performansi produk melebihi harapannya. Dengan demikian, konsep ergonomi harus dijadikan sebagai kerangka dasar dalam pengembangan design produk sehingga diharapkan hasil design dan produknya memiliki nilai tambah yang dapat meningkatkan manfaat  yang akan dirasakan oleh konsumen serta sekaligus dapat memenuhi harapannya sehingga dapat memberikan kepuasan bagi pemakainya (Pulat, 1992).  Dalam menjembatani kesenjangan antara konsep ergonomi yang secara alamiah berhubungan dengan segala aktivitas manusia yang dilakukan, dengan pengembangan produk sehingga sedemikian rupa produk yang dihasilkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi konsumen dan juga sekaligus memberikan daya jual produk yang tinggi, antara lain sebagai berikut : (a) seorang designer harus memahami pentingnya konsep ergonomi dalam pengembangan produk, terutama dalam tahapan design dimana konsep ergonomi harus dijadikan kerangka dasar dari segala kepentingan, sedangkan atribut dan karakteristik produk lainnya melengkapi kerangka dasar tersebut; (b) konsep ergonomi  sebenarnya merupakan salah satu variabel dari keinginan konsumen, tetapi konsumen pada umumnya belum memahami apa itu ergonomi dan bagaimana pentingnya aplikasi ergonomi dalam pengembangan design produk, sehingga terlupakan oleh variabel lain yang dianggap penting. Yang paling penting adalah seorang designer harus lebih memahami konsep ergonomi  sehingga akan mendorong dan memahami konsep ergonomi melalui hasil design produknya sebagai proses pembelajaran dan sosialisasi terhadap masyarakat luas sebagai pengguna; (c) adanya link & match antara industri dengan perguruan tinggi  melalui kerja sama penelitian meliputi design produk, diversifikasi produk, customer needs, dan sebagainya; dan (d) lakukan evaluasi terhadap design produk dan produk jadi secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya, serta implementasikan hasilnya untuk menghasilkan design produk baru.

Dalam hal ini akan kita pusatkan pada penciptaan produk baru yaitu perubahan desain atau redesain. Redesain yang akan dibahas yaitu redesain meja dan kursi kuliah yang digunakan oleh mahasiswa IKIP Saraswati Tabanan. Lingkungan belajar adalah tempat dimana proses belajar mengajar berlangsung. hal ini meliputi keadaan dan kondisinya, pengaturan tempat duduk, bentuk kursi, berbagai macam perlengkapan yang tersedia. Dalam pembelajaran, sebagian besar aktivitas belajar mahasiswa dilaksanakan dengan duduk. Dalam arti duduk, mendengarkan, membaca  dan menulis. Sehingga kenyamanan dan efektifitas gerak mahasiswa tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena rancangan meja dan kursi kuliah yang baik dan menunjang kenyamanan dan efefktifitas gerak mahasiswa, yang pada akhirnya merupakan salah satu mendukung keberhasilan proses pembelajaran mahasiswa. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk merancang fasilitas yang lebih ergonomis dilakukan dengan pendekatan antropometri. Dengan pendekatan antropometri ini dapat di peroleh rancangan meja dan kursi kuliah yang lebih ergonomis karena disesuaikan dengan ukuran tubuh manusia/ mahasiswa, sehingga di peroleh dimensi meja dan kursi kuliah yang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan mahasiswa pada posisi duduk.

1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1        Apakah yang melatar belakangi upaya untuk melakukan redesain meja dan kursi kuliah?

1.2.2        Sejauh manakah penerapan kaidah-kaidah ergonomi dalam membuat rancangan dimensi meja dan kursi kuliah?

1.2.3        Apa akibatnya bila ukuran kursi kuliah tidak sesuai dengan  antropometri mahasiswa?

 

 

 

1.3    Tujuan

Tujuan dilakukannya kajian pustaka melalui pendekatan ergonomi ini adalah sebagai berikut:

1.3.1        Untuk mengetahui beberapa aspek penting yang melatar belakangi upaya redesain meja dan kursi kuliah.

1.3.2        Untuk mengetahui sejauh mana penerapan kaidah-kaidah ergonomi dalam rancangan redesain meja dan kursi kuliah.

1.3.3        Untuk mengetahui dampak negatif  ukuran kursi kuliah yang tidak sesuai dengan antropometri mahasiswa.

 

1.4    Manfaat

Melalui kajian tentang perkembangan desain-redesain meja dan kursi kuliah diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1        Dapat menambah wawasan tentang aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam membuat rancangan desain-redesain berbagai produk.

1.4.2        Dapat memperdalam pemahaman tentang penerapan prinsip dasar ergonomi dalam mendesain produk.

 

2. MATERI  DAN METODE

Materi dalam kajian ini adalah berupa pendapat-pendapat para pakar yang mengungkapkan, melaporkan hasil penelitian dan mengkaji kaidah-kaidah ergonomi yang bisa diterapkan dalam desain dan redesain  meja dan kursi kuliah.

Metode yang digunakan adalah berupa telaah kepustakaan atau studi litaratur yang berusaha untuk dikaji secara mendalam dan disajikan secara naratif berdasarkan fakta-fakta yang diuangkapkan oleh pakar-pakar desain dan redesain  serta observasi dilakukan secara langsung terhadap objek yang dipelajari.             Pengambilan data berupa foto objek dengan menggunakan kamera digital serta data yang didapat dianalisis secara deskriptif.

 

3. KAJIAN TEORI

3.1   Produk Ergonomis dan Permasalahannya

Produk adalah segala sesuatu yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia maupun organisasi. Produk dapat mencakup benda fisik, jasa, prestise, tempat, organisasi maupun idea. Produk yang berwujud biasa disebut sebagai barang, sedangkan yang tidak berwujud disebut jasa (Anonim, 2007). Pengembangan produk baru atau menciptakan produk baru merupakan tugas yang sering terlupakan. Pada saat salah satu ataupun beberapa produk yang sedang dipasarkan itu berada pada tahap “kedewasaan”, maka pengusaha haruslah mulai memanfaatkan keuntungan yang diperolehnya dari produk yang berada pada tahap tersebut untuk mengembangkan ide penciptaan produk baru. Proses penciptaan produk baru tersebut tentunya melalui proses desain dan redesain yang dilakukan secara sistematik dan ilmiah.  Produk baru inilah yang diharapkan nantinya dapat menggantikan produk lama yang sedang jaya tersebut. Hal ini disebabkan karena pangsa pasar sangat dipengaruhi oleh inisiatif perusahaan sebagai penghasil produk dalam memformulasikan bentuk strategi pengembangan dan pencapaian produknya melalui strategi inovasi dan pengembangan pasar (Sihombing, 2007). Dalam setiap desain produk baru tentu melalui proses, yang dimulai dengan suatu masalah. Masalah tersebut bisa saja dimulai dari tidak lakunya produk (karena sudah usang atau out of date), atau karena desain kurang menarik, dan bisa juga karena pengaruh luar berupa arus kecendrungan baru. Dalam menjawab masalah tersebutlah diperlukan suatu ide untuk melahirkan bentukan desain produk yang baru, sehingga  nantinya mampu dijadikan suatu produk baru yang bernilai tambah.  Jadi secara singkat hal ini menjadi suatu siklus yang mencerminkan adanya hubungan antara desain dan redesain.

Pada saat seseorang memutuskan untuk memulai usahanya, maka pada saat itu pula ia harus dapat merencanakan kegiatan usahanya dengan baik. Kesalahan dalam perencanaan merupakan suatu langkah awal menuju kegagalan. Menurut Kastaman (2003),   kegiatan perencanaan usaha setidaknya mengikuti beberapa tahapan, antara lain : (1) Menganalisis situasi yang berhubungan  dengan usaha yang akan dilakukan. Pada tahapan ini perlu diketahui situasi dan kondisi pasar yang akan dijadikan objek usaha, baik yang menyangkut produk yang prospektif (prospek produk), lokasi, karakteristik konsumen, segmen pasar yang akan dirujuk dan semua aspek yang menyangkut kemungkinan usaha apa yang sebaiknya akan dibuat atau dikembangkan. Sumber informasi yang dapat diperoleh untuk mendapatkan gambaran situasi pasar potensial dari usaha yang akan dikembangkan antara lain: media massa (koran, majalah, televisi, radio), internet, melihat langsung di lapangan (survey pasar) atau informasi yang diperoleh dari teman (kolega) yang mengelola suatu usaha. Berdasarkan informasi awal yang diperoleh maka usaha apa yang akan dilakukan agar dapat segera dianalisis kemungkinan pelaksanaan dan kelayakannya. Perkiraan target produksi produk dalam kaitan dengan perencanaan usaha dapat ditentukan dengan menggunakan pendekatan perkiraan atau hitungan kebutuhan dari data terkait usaha bidang yang akan dimasuki. (2) Pemahaman tentang organisasi dan tata laksana perusahaan. Kegiatan berikutnya yang harus dilakukan sebelum memulai berwirausaha adalah bekal pemahaman tentang bagaimana menjalankan suatu usaha baik dari segi pembentukan badan usaha (organisasi usaha), manajemen organisasi usaha maupun pengetahuan tentang manajemen keuangannya.  (3) Melakukan studi kelayakan usaha. Sebagai tahapan akhir dari kegiatan perencanaan usaha adalah menganalisis kelayakan ekonomi dari usaha yang akan didirikan. Bekal pengetahuan dasar sebelumnya akan dapat menunjang dalam melakukan analisis kelayakan ekonomi kegiatan usaha. Untuk menganalisis kelayakan ekonomi  diperlukan perkiraan pendapatan dan pengeluaran biaya yang akan terjadi seandainya usaha tersebut jadi dilaksanakan. Oleh karena pada tahapan ini baru berupa perencanaan, maka dalam analisisnya diperlukan harga atau nilai-nilai perkiraan. Apabila kriteria kelayakan ekonomi terpenuhi, maka kegiatan usaha dapat dilakukan. (4) Mengelola sistem produksi dalam berusaha dengan cara yang efektif dan efisien Kegiatan ini terkait dengan bagaimana memadukan unsur Manusia, Mesin, Material (bahan baku), Metode Kerja, Modal Kerja, dan Memasarkan Produk dengan seefektif dan seefisien mungkin. (5) Menjaga usaha yang dilakukan agar berkesinambungan dengan mengacu pada kaidah 3K yaitu : Kapasitas, Kualitas dan Kontinyuitas. Kaidah ini mengandung makna bahwa usahakan kegiatan usaha itu selalu memenuhi kapasitas standar bagi pemenuhan target produksi yang direncanakan dengan tidak melupakan unsur kualitas produk yang baik dan terjaga (kesehatan, penampakan, aman, dan manfaat) serta dapat diproduksi secara kontinyu (berkesinambungan). Menurut Agustinus (2003) dalam  David (2009)  mengatakan bahwa tahap siklus kehidupan atau product life cycle dapat dikelompokkan menjadi 4 tahap yaitu : (a) Tahap I: Tahap Pengenalan atau Introduction.  Dalam tahap ini produk pertama kalinya diperkenalkan ke pasar. Jumlah penjualan sedikit dan perkembangan pasar lambat. Diperlukan investasi besar, baik untuk pengembangan produk, promosi maupun biaya-biaya pemasaran lain. Karena itu tahap ini produk belum dapat diharapkan menghasilkan laba. (b) Tahap II: Tahap pertumbuhan atau growth.  Produk sudah dikenal di pasar dan mulai dikenal konsumen. Permintaan melonjak tajam dan laba terus meningkat. Persaingan mulai melemparkan produk yang sama ke pasar. (c)  Tahap III: Tahap kematangan atau pendewasaan atau maturity.  Permintaan pada produk tetap tinggi, tetapi perkembangan pasar sangat lambat. Persaingan makin ketat dan pasar menjadi jenuh. Setelah menjadi titik puncak jumlah penjualan mulai menurun. (d) Tahap IV: Kemerosotan atau penurunan atau decline. Permintaan terhadap produk makin menurun, penjualan dan laba merosot drastis.  Daur hidup produk  merupakan konsep yang penting dalam pemasaran karena memberikan pemahaman yang mendalam mengenai dinamika bersaing suatu produk. Pada tahap perkenalan biasanya hanya beberapa orang saja yang membeli. Bila ternyata produk tersebut memuaskan kebutuhan, sejumlah pembeli lainnya akan membeli juga.  Pada tahap berikutnya lebih banyak pembeli lagi yang masuk ke pasar tetapi juga diikuti dengan masuknya para pesaing. Kemudian laju pertumbuhan mulai menurun pada saat jumlah pembeli baru yang potensial menyusut. Penjualan menjadi mantap disebabkan oleh stabilnya tingkat pembelian ulang. Namun akhirnya akan tiba waktunya penjualan menjadi menurun karena munculnya kelompok produk baru, bentuk produk baru atau merk baru yang mulai menyita perhatian konsumen dari produk yang sedang beredar.  Proses perancangan adalah suatu kegiatan ilmiah. Di dalamnya terlibat aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Keluasan dan kedalaman horison seorang desainer sangat menentukan produknya pada saat mengalami fase decline atau fase kemerosotan.  Produk yang dihasilkan hendaknya mempunyai nilai tambah dan meningkatkan kondisi kehidupan manusia. Proses mendesain dimulai dari adanya masalah. Masalah yang dihadapi wajib dicarikan pemecahan melalui metode ilmiah. Dalam mendesain sesuatu produk,  maka jawaban tersebut berupa suatu angan-angan yang nantinya akan diwujudkan. Untuk itu diperlukan suatu data, dan  data dipergunakan untuk mewujudkan  angan-angan tadi menjadi suatu produk nyata yang akan dinikmati oleh pemakai, sehingga meningkatkan kondisi kehidupannya. Untuk itulah tantangan seorang desainer harus berwawasan ergonomi.  Data tersebut dikumpulkan dari sekitarnya, termasuk data keinginan masyarakat pemakai produk yang direncanakan. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan dalam pengumpulan data. Semakin lengkap datanya semakin tepat penggambaran ciri-ciri kharakteristik dan keinginan si pemakai yang berhasil diwujudkan nantinya dalam mendesain produk tersebut. Sampai saatnya rancangan pertama muncul maka kritik dan masukan dari pemakai akan terus memperbaiki mutu rancangan dan pada akhirnya akan melahirkan rancangan final (redesign).  Semestinya suatu desain produk supaya secara moral dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial diterima masyarakat pemakai,dan  mampu mengangkat derajat kehidupan manusia  seiring dengan perubahan jaman. Dalam setiap redesain tentunya melalui proses, yang dimulai dengan suatu masalah. Masalah tersebut bisa saja dimulai dari tidak lakunya produk, misalnya; karena sudah usang, bisa juga karena out of date, design kurang menarik, atau karena pengaruh luar berupa arus kecendrungan baru. Dalam menjawab masalah tersebutlah diperlukan suatu ide untuk  melahirkan model desain yang baik untuk nantinya mampu dijadikan suatu produk yang bernilai tambah.. Semua ciri, sifat dan keinginan masyarakat pemakai yang datanya sudah dicari, diangkat untuk dipakai dalam membuat suatu desain produk. Data yang diperlukan hendaknya dicari dengan menggunakan metode yang valid, dilandasi kejujuran, objektif, dan selalu konsisten dengan parameter yang telah ditetapkan. Hasilnya diwujudkan menjadi prototip kemudian dipresentasikan dalam seminar atau melalui uji lapangan (user trials) untuk mendapatkan kritik dan masukan lebih lanjut. Semua masukan digodok secara ilmiah, sehingga mampu memberikan hasil yang betul-betul sesuai dengan keinginan masyarakat pemakai.  Jadi terjadi suatu lingkaran proses, berupa PDCA: Plan (rencana), Do (berbuat/wujud-nyatakan), Check (kritisi, berikan input), dan Action (mewujudkan kembali). Secara singkat siklusnya menjadi design-redesign (Axelsson, 2000 dalam Adiputra, 2008).

             Dewasa ini desain produk lebih berorientasi pada kegunaan, penampilan, dan estitika, kemudahan pemakaian, kemudahan pemeliharaan, dan biaya-biaya yang rendah yang semuanya untuk menarik konsumen. Menurut Henry Dreyfuss (1967) dalam Susanti (2008) membuat daftar lima tujuan penting pengembangan produk-produk baru seperti berikut: kegunaan produk, penampilan produk, kemudahan untuk maintenance dan perbaikan, biaya yang rendah, serta kesesuaian kualitas dan desain produk dengan filosofi desain dan mission statemen perusahaan. Kegunaan produk, merupakan kegunaan hasil produksi manusia yang harus selalu aman, mudah digunakan dan secara fungsi harus dibentuk sedemikian rupa sehingga si pemakai mengetahui fungsinya. Penampilan produk, merupakan bentuk, garis, proporsi dan warna digunakan untuk menyatukan produk menjadi produk-produk yang menyenangkan. Kemudahan pemeliharaan, merupakan suatu keharusan bahwa produk harus didesain untuk memberitahukan bagaimana produk dapat dirawat dan diperbaiki. Biaya-biaya rendah, memegang peranan penting dalam perawatan dan produksi. Komunikasi, menyatakan bahwa desain produk harus dapat mewakili filosofi desain perusahaan dan misi perusahan melalui visualisasi kualitas produk.

Tujuan pengembangan desain produk yang paling utama adalah mendapatkan desain produk yang ergonomis. Dalam proses desain peralatan produk dewasa ini dilakukan dengan  pendekatan ergonomis. Ergonomi adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter manusia, kapasitas dan keterbatasannya terhadap desain pekerja, mesin dan sistemnya, ruangan kerja dan lingkungan sehingga manusia dapat hidup dan bekerja secara sehat, aman, nyaman dan efisien. Konsep perancangan yang ergonomis  adalah konsep perancangan yang dapat mendukung efisiensi dan keselamatan. Konsep tersebut adalah desain untuk reliabilitas, kenyamanan, lamanya waktu pemakaian, kemudahan dan efisiensi dalam pemakaian (Pulat, 1992)

Desain produk disebut ergonomis apabila secara antropometris, faal, biomekanik dan psikologis cocok dengan manusia sebagai penggunanya. Pertimbangan desain produk harus berpusat pada manusia sebagai pengguna dengan maksud agar setiap desain produk baik secara fungsi, teknik, ekonomis, estetis, maupun secara ergonomis mampu memenuhi kebutuhan penggunanya. Ada empat  langkah yang harus ditempuh untuk menghasilkan produk yang lebih baik dan langkah ini merupakan siklus yang berkesinambungan, yaitu: (1) desain, (2) produksi, (3) penjualan, (4) studi pasar, kemudian kembali ke langkah pertama. Demikian seterusnya sehingga merupakan proses pengembangan produk yang berkelanjutan.

 

Gambar 3.1  Proses Produksi

    Dilihat dari sudut pandang antropometri, posisi duduk yang salah akan mengakibatkan dampak negatif, dan  akan berpengaruh buruk pada kenyamanan mahasiswa, seperti misalnya: timbulnya hambatan dalam sikulasi darah atau gangguan peredaran darah, berkurangnya keseimbangan duduk seseorang, sehingga  timbul  ketidaknyamanan duduk seseorang. Sikap duduk yang salah  dapat mengakibatkan sakit pada otot-otot pinggang atau punggung, sakit pada otot-otot leher dan bahu, serta mengakibatkan gangguan pada daerah lumbar.

 

3.2  Aspek Yang Melatar Belakangi Redesain Meja dan Kursi Kuliah Menjadi  Kursi Kuliah          

 

Ada beberapa aspek yang melatar belakangi redesain meja dan kursi kuliah ini adalah sebagai berikut.

a.       Bentuknya lebih menekankan aspek estetika jika dibandingkan dengan meja dan kursi kuliah sebelum perbaikan. Kursi kuliah ini di desain dengan bentuk yang                                                                                                     simpel namun tetap memiliki nilai estetis yang tinggi dan sesuai dengan karakter mahasiswa yang menggunakannya.

b.   Faktor Sosial Budaya.

Jenis kursi kuliah ini diterima oleh masyarakat, karena tidak ada benturan dengan budaya lokal dan bersifat adaptif.

c.   Ekonomi.

Faktor ekonomi suatu produk sangat menentukan kelangsungan dari pada desain kursi kuliah. Untuk itu perlu diperhatikan mengenai  efisiensi dan keterjangkauan konsumen.

d.   Faktor Teknis, Fungsional, Lingkungan dan Operasional.

Semua material yang digunakan ramah lingkungan dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (polusi), sehingga untuk memecahkan suatu masalah tidak timbul  masalah baru. Pengerjaannya  dengan menggunakan teknologi tepat guna.

e.   Ergonomi.

Agar meja dan kursi kuliah nyaman dipakai pada waktu kuliah, maka ukuran-ukurannya harus disesuaikan dengan antropometri orang yang akan memakainya.  Bila meja belajar terlalu tinggi maka bahu akan lebih sering terangkat pada saat menulis atau meletakkan tangan di atas meja dan bila terlalu rendah maka sikap tubuh akan membungkuk pada saat menulis. Sikap tubuh yang seperti itu dapat mengakibatkan sakit pada otot-otot pinggang atau punggung dan sakit pada otot-otot leher dan bahu. Secara fisiologis rasa sakit tersebut muncul sebagai akibat dari akumulasi kelelahan yang diakibatkan oleh penumpukan asam laktat pada otot-otot tersebut. Ini bisa terjadi karena pada sikap paksa didominasi oleh kontraksi otot statis dengan respirasi yang bersifat anaerobik. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dipilih meja belajar yang sesuai dengan si pemakainya. Grandjean (2000) menganjurkan agar tinggi meja untuk menulis dan membaca dalam posisi duduk adalah antara 74–78 cm untuk laki-laki dan antara 70–74 cm untuk wanita.

Untuk menciptakan meja dan kursi kuliah yang disukai oleh mahasiswa sebagai pemakai maka diperlukan seorang  perancang (desainer) yang berwawasan ergonomi.

Proses mendesain dimulai dari adanya masalah. Masalah yang dihadapi wajib dicarikan pemecahan melalui metode ilmiah. Dalam mendesain sesuatu produk,  maka jawaban tersebut berupa suatu angan-angan yang nantinya akan diwujudkan. Untuk itu diperlukan suatu data, dan  data dipergunakan untuk mewujudkan  angan-angan tadi menjadi suatu produk nyata yang akan dinikmati oleh pemakai, sehingga meningkatkan kondisi kehidupannya. Untuk itulah tantangan seorang desainer harus berwawasan ergonomi.  Data tersebut dikumpulkan dari sekitarnya, termasuk data keinginan masyarakat pemakai produk yang direncanakan. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan dalam pengumpulan data. Semakin lengkap datanya semakin tepat penggambaran ciri-ciri kharakteristik dan keinginan si pemakai yang berhasil diwujudkan nantinya dalam mendesain produk tersebut. Sampai saatnya rancangan pertama muncul maka kritik dan masukan dari pemakai akan terus memperbaiki mutu rancangan dan pada akhirnya akan melahirkan rancangan final (redesain).

Semestinya suatu desain produk supaya secara moral dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial diterima masyarakat pemakai, dan  mampu mengangkat derajat kehidupan manusia  seiring dengan perubahan jaman. Dalam setiap redesain tentunya melalui proses, yang dimulai dengan suatu masalah. Masalah tersebut bisa saja dimulai dari tidak lakunya produk, misalnya; karena sudah usang, bisa juga karena out of date,  design kurang menarik, atau karena pengaruh luar berupa arus kecendrungan baru. Dalam menjawab masalah tersebutlah diperlukan suatu ide untuk  melahirkan model desain yang baik untuk nantinya mampu dijadikan suatu produk yang bernilai tambah.. Semua ciri, sifat dan keinginan masyarakat pemakai yang datanya sudah dicari, diangkat untuk dipakai dalam membuat suatu desain produk. Data yang diperlukan hendaknya dicari dengan menggunakan metode yang valid, dilandasi kejujuran, objektif, dan selalu konsisten dengan parameter yang telah ditetapkan. Hasilnya diwujudkan menjadi prototip kemudian dipresentasikan dalam seminar atau melalui uji lapangan (user trials) untuk mendapatkan kritik dan masukan lebih lanjut. Semua masukan digodok secara ilmiah, sehingga mampu memberikan hasil yang betul-betul sesuai dengan keinginan masyarakat pemakai.

Pada kajian ini akan diadakan redesain yaitu dari meja serta kursi kuliah yang biasa digunakan oleh mahasiswa  IKIP Saraswati Tabanan (Gambar 3.1) diperbaiki menjadi kursi kuliah.

Gambar 3.1  Meja dan Kursi Kuliah Sebelum Perbaikan

Setelah perbaikan akan digunakan kursi kuliah dengan pertimbangan:            (a)  Lebih dinamis bila digunakan untuk pembelajaran kooperatif.

(b)  Efisiensi pemakaian ruangan.

(c) Memiliki sandaran kursi yang dapat memberikan dukungan pada daerah lumbar. Kursi kuliah yang baik harus dapat menopang tulang belakang (terutama daerah lumbar) dengan posisi yang baik dan sesuai dengan bentuk alami tulang belakang. Dengan begitu akan memperlambat proses terjadinya kelelahan serta mengurangi rasa sakit atau pegal yang timbul pada bagian punggung dan pinggang akibat posisi duduk yang kurang tepat

(d) Nyaman dipakai pada waktu kuliah, karena ukuran-ukurannya sudah  disesuaikan dengan antropometrik orang yang  memakainya  (Purwati, 2003; Nugroho, 2009).

3.3   Antropometri dan Tujuan Pengukuran

3.3. 1   Antropometri

            Setiap desain sarana pembelajaran, seperti kursi kuliah  harus berpedoman kepada antropometri pemakainya. Menurut  Lehto & Buck (2005); Peacock (2009);  bahwa antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh atau karakteristik fisik tubuh lainnya yang relevan dengan desain tentang  sesuatu yang dipakai orang. Secara umum pengukuran antropometri dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu pengukuran antropometri statis dan pengukuran antropometri dinamis (Tarwaka, dkk., 2004). Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran antropometri statis, yaitu dalam posisi berdiri dan posisi duduk di kursi.

Menurut Panero dan Zelnik (2003), persentil yang digunakan pada data antopometri untuk mendesain kursi kuliah adalah sebagai berikut.

1)      Rentang panggul/ lebar pinggul menggunakan persentil 95

2)      Rentang bahu/ lebar bahu menggunakan persentil 95

3)      Tinggi siku pada posisi duduk menggunakan persentil 50

4)      Tinggi lipatan dalam lutut (tinggi popliteal) menggunakan persentil 5

5)      Tinggi bahu posisi duduk  menggunakan persentil 95

6)       Jarak dari pantat hingga lipatan dalam lutut (popliteal) menggunakan persentil 5

 

Ketentuan ini didasarkan atas pertimbangan keleluasaan ruang gerak di suatu ruangan. Tujuannya adalah untuk mengefisienkan pemakaian ruangan dan sarana pembelajaran.

Pengukuran pada posisi berdiri adalah  tinggi badan, jangkauan keatas, tinggi mata, tinggi bahu, tinggi siku, tinggi genggaman, jangkauan ke samping, dan jangkauan ke depan.

Pengukuran pada posisi duduk adalah  jangkauan ke atas, tinggi duduk, tinggi mata, tinggi bahu, tinggi pinggang, tinggi siku, tinggi lutut, tinggi popliteal, tebal paha, lebar bahu, lebar pinggul, jarak dari siku ke siku, panjang buttock popliteal, panjang buttock lutut, dan jarak siku ke ujung jari.          

3.3.2 Tujuan Pengukuran

Menurut  Nugroho (2009); Sutajaya (2005);  Wijana (2008) ada beberapa data antropometri yang dibutuhkan untuk mendesain kursi kuliah sehingga posisi duduk tidak menimbulkan keluhan otot dan kelelahan. Menurut Panero dan Zelnik (2003) data antropometri yang dibutuhkan dan tujuan pengukurannya adalah sebagai berikut.

1.            Tinggi siku pada posisi duduk, adalah tinggi mulai dari bagian puncak permukaan tempat duduk hingga bagian puncak bawah dari siku. Tujuan pengukurannya adalah untuk menentukan ketinggian meja kuliah. Agar lengan dapat berada dalam posisi istirahat yang nyaman pada suatu permukaan maka data persentil ke-50 akan merupakan pilihan yang tepat (rentangannya antara 14 cm -27,9 cm). Gambar tinggi siku posisi duduk adalah sebagai berikut.

Gambar 3.2  Tinggi siku Posisi Duduk

 

2.            Tinggi lipatan dalam lutut (tinggi popliteal), adalah jarak yang diambil secara vertikal dari lantai hingga bagian bawah paha tepat di belakang lutut, ketika orang berada dalam posisi duduk tegak. Lutut dan pergelangan kaki dalam posisi tegak lurus, dengan bagian bawah paha dan bagian belakang  lutut  langsung menyentuh permukaan tempat duduk. Tujuan pengukurannya adalah untuk menentukan tinggi permukaan tempat duduk dari atas permukaan lantai, terutama titik tertinggi bagian depan tempat duduk. Dalam penentuan tinggi tempat duduk pada kursi kuliah data persentil ke-5 yang harus digunakan. Gambar tinggi lipatan dalam lutut (tinggi popliteal) adalah sebagai berikut.

 

Gambar 3.3  Tinggi lipatan dalam lutut

 

3.            Rentang panggul/ lebar pinggul, adalah rentang dari tubuh yang diukur melintasi bagian terbesar dari panggul. Tujuan pengukurannya adalah untuk menentukan lebar alas kursi kuliah. Dalam penentuan lebar alas kursi kuliah data persentil ke-95 yang harus digunakan. Gambar rentang panggul/ lebar pinggul adalah sebagai berikut.

Gambar 3.4  Rentang panggul/ lebar pinggul

 

4.            Rentang bahu/ lebar bahu, adalah jarak horisontal maksimum yang melintasi otot-otot deltoid. Tujuan pengukurannya adalah untuk menentukan lebar sandaran kursi kuliah. Dalam penentuan lebar sandaran kursi kuliah data persentil ke-95 yang harus digunakan. Gambar rentang bahu/ lebar bahu adalah sebagai berikut.

Gambar 3.5  Rentang bahu/ Lebar bahu

 

5.            Tinggi bahu posisi duduk,  adalah jarak vertikal dari permukaan tempat duduk hingga titik pertengahan bahu antara leher dan akromion. Tujuan pengukurannya adalah untuk menentukan tinggi maksimal sandaran yang memberikan dukungan pada daerah lumbar. Dalam penentuan tinggi sandaran kursi kuliah data persentil ke-95 yang harus digunakan. Gambar tinggi bahu posisi duduk adalah sebagai berikut.

Gambar 3.6  Tinggi bahu posisi duduk

 

6.            Jarak dari pantat hingga lipatan dalam lutut (jarak buttock-popliteal), adalah jarak horisontal dari permukaan terluar dari pantat hingga bagian belakang kaki bagian bawah. Tujuan pengukurannya adalah untuk menentukan panjang alas duduk. Dalam penentuan panjang alas duduk kursi kuliah data persentil ke-5 yang harus digunakan. Gambar jarak dari pantat hingga lipatan dalam lutut (popliteal) adalah sebagai berikut.

 

Gambar 3.7  Jarak dari pantat hingga lipatan dalam lutut (jarak buttock- popliteal)

Secara keseluruhan Gambar dimensi antropometri mahasiswa untuk mendesain kursi kuliah adalah sebagai berikut

.

E

B

F

A

D

A

 

 

Gambar 3.8  Pedoman Dimensi Antropometrik Untuk Desain Kursi Kuliah

Keterangan:

A.    Tinggi lipatan dalam lutut (popliteal)

B.     Jarak pantat–lipatan dalam lutut (jarak buttock- popliteal)

C.     Rentang panggul/ lebar pinggul

D.    Tinggi bahu posisi duduk

E.     Rentang bahu/ lebar bahu

F.      Tinggi siku posisi duduk

 

3.4 Pedoman Penentuan Dimensi Kursi Kuliah

 

Memperhatikan hal tersebut di atas, maka menurut  Nugroho (2009)    dibuatlah pedoman pembuatan dimensi kursi kuliah  dengan berpedoman pada data antropometri mahasiswa, seperti pada Tabel  3.1  berikut ini.

 

Tabel 3.1

 Pedoman Penentuan Dimensi Kursi kuliah ( Nugroho, 2009)

 

No.                  Dimensi kursi kuliah                           Pedoman

 

 

1.       Tinggi alas kursi dari lantai                 Tinggi popliteal persentil 5

2.       Kemiringan alas kursi                          14o–24o    dari   bidang   horizontal   atau

dari lantai (dibuat miring ke belakang).

3.       Ujung tepi depan alas kursi                 Dibuat agak bulat

4.       Lebar alas kursi                                   Lebar pinggul persentil 95

5.       Panjang (kedalaman) alas kursi           Panjang buttock popliteal persentil 5

6.       Tinggi meja dari alas kursi                  Tinggi siku posisi duduk persentil 50

  7.       Lebar meja                                         Lebarnya 35 cm (ukuran  lebar  double                                                                folio ditambah 2 cm)

  8.       Panjang meja                                       Jarak siku ke pergelangan tangan

persentil 5 ditambah 35 cm

9.        Lebar sandaran                                    Lebar bahu persentil 95

10.       Tinggi sandaran                                   Tinggi bahu  persentil 95

11.       Sudut kemiringan sandaran                100 sampai dengan 300 dari arah vertikal

        Berpedoman pada pedoman penentuan dimensi kursi kuliah tersebut diatas maka berikutnya dapat dibuat rancangan dimensi kursi kuliah berbasis ergonomi.

3.5    Rancangan Dimensi Kursi Kuliah Berbasis Ergonomis

Rancangan dimensi kursi kuliah berbasis ergonomis, dengan satu pendekatan ergonomi antropometri untuk meningkatkan kenyaman, mengurangi kelelahan dan dampak-dampak negatif yang diakibatkan dari posisi duduk yang kurang terjamin, dengan memfokuskan pada rancangan kursi kuliah yang disesuaikan dengan ukuran/dimensi tubuh manusia. Posisi duduk sangat menentukan kenyaman duduk sesorang. Dilihat dari sudut pandang antropometri posisi duduk yang salah akan mengakibatkan dampak negatif, yang akan berpengaruh buruk pada kenyamananya.

Nugroho (2009) mengemukakan bahwa dalam perancangan kursi kuliah yang ergonomis, maka perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu: (a) Sandaran kursi seharusnya memberikan dukungan pada daerah lumbar dengan lebar sandaran sesuai dengan lebar bahu dan tinggi sandaran sesuai dengan tinggi bahu;  (b) Sandaran kursi seharusnya bersudut 100 sampai dengan 30dari daerah vertikal; (c) Tinggi permukaan alas kursi tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah dari ukuran tinggi popliteal; (d) Lebar alas kursi sesuai dengan ukuran lebar pinggul; (e) Kedalaman alas kursi sesuai dengan ukuran panjang buttock popliteal; dan (f) Tinggi meja tidak boleh lebih rendah atau lebih tinggi  dari tinggi siku  posisi duduk.

Berpedoman pada pedoman penentuan dimensi kursi kuliah tersebut diatas maka dapat dibuat gambar dimensi kursi kuliah berbasis ergonomi yaitu seperti pada Gambar 3.1, Gambar 3.2, Gambar 3.3,  dan Gambar 3.4 berikut ini.

 

 

Gambar 3.1 Gambar Dimensi Kursi Kuliah

Gambar 3.2 Gambar Dimensi Kursi Kuliah Tampak Atas

Keterangan gambar:

A               : Ukuran  lebar  kertas double folio ditambah 2 cm  menjadi 35 cm.

B               : Jarak siku ke pergelangan tangan persentil 5

C               : Lebar pinggul persentil 95

D               : Ukuran  lebar  kertas double folio ditambah 2 cm  menjadi 35 cm.

E                : Panjang  buttock popliteal persentil 5

F                : Jarak siku ke pergelangan tangan persentil 5 ditambah 35 cm.

Gambar 3.3  Gambar Dimensi Kursi Kuliah Tampak Depan

Keterangan Gambar:

A         :  Tinggi popliteal persentil 5

B         :  Tinggi siku posisi duduk persentil 50

C         :  Tinggi bahu persentil 5

 

Gambar 3.4 Gambar Dimensi Kursi Kuliah Tampak Samping

Keterangan Gambar:

A         : Sudut kemiringan Sandaran 100 sampai dengan 300   

B         : Sudut kemiringan alas kursi 14o–24o

4.   HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1  Hasil

Dari hasil penelitian pendahuluan terhadap 16 orang mahasiswa di Jurusan Biologi IKIP Saraswati Tabanan,  ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan antropometri dikaitkan dengan ukuran kursi dan meja belajar.   Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini.

 

Tabel 1

Data Antropometri Mahasiswa

 

 

 

Antropometri                                Persentil 5 (cm)                     Persentil 95 (cm)

Posisi duduk

Tinggi popliteal                                   42.00

Tinggi siku                                                                                                  28.41

Panjang buttock popliteal                    42.40                       

Lebar Pinggul                                     38.60

 

 

 

Tabel 2

Ukuran Kursi dan Meja Kuliah

 

No.                  Dimensi kursi kuliah                                                   Ukuran (cm)

 

 

1.         Tinggi alas kursi dari lantai                                            35

3.         Panjang (kedalaman) alas kursi                                      30

4.         Tinggi meja dari alas kursi                                              45

5.         Tinggi meja dari lantai                                                    80

 

 

 

 

                                     Gambar 1 Kursi dan Meja Kuliah

 

4.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian pendahuluan ternyata meja dan kursi kuliah yang digunakan oleh mahasiswa IKIP Saraswati Tabanan belum memenuhi aspek estitika, fungsional dan ergonomis, sehingga hal inilah yang melatar belakangi upaya untuk melakukan redesain meja dan kursi kuliah.

Selain itu, ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan antropometri dikaitkan dengan ukuran kursi dan meja belajar.   Tinggi tempat duduk  35 cm, sedangkan tinggi popliteal pada posisi duduk (persentil 5) adalah  42.00 cm.  Tinggi  meja belajar 80 cm, sedangkan   tinggi siku pada posisi duduk (persentil 95) adalah   28.41 cm  ditambah tinggi popliteal 42 cm, sehingga tinggi meja belajar seharusnya 70,41 cm, menyebabkan posisi bahu terangkat saat beraktivitas di atas meja. Panjang  alas kursi 30 cm, sedangkan panjang buttock popliteal  (persentil 5) 42.40 cm. Bila kursi kuliah tidak sesuai dengan antropometri mahasiswa maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan ketidaknyamanan pada saat duduk.

Dilihat dari sudut pandang antropometri, posisi duduk yang salah akan mengakibatkan dampak negatif, dan  akan berpengaruh buruk pada kenyamanan mahasiswa, seperti misalnya:

1.      Jika tinggi alas kursi  terlalu tinggi dari lantai maka menyebabkan  bagian bawah paha akan tertekan. Hal ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan peredaran darah terhambat.   Selain itu  juga menyebabkan telapak kaki tidak dapat menapak dengan baik di lantai, sehingga menyebabkan melemahnya stabilitas tubuh,  seperti ditunjukkan gambar 2.

 

Gambar 2.     Akibat Alas Kursi Yang Terlalu Tinggi

(Panero & Zelnik, 2003).

2.      Sebaliknya jika tinggi alas kursi  terlalu rendah dari lantai maka menyebabkan kaki condong terjulur  ke depan, menjauhkan tubuh dari keadaan stabil. Selain itu pergerakan tubuh ke depan akan menjauhkan punggung dari sandaran sehingga penopangan lumbar tidak terjaga dengan tepat, seperti  ditunjukan gambar 3

.

Gambar 3.       Akibat Alas Kursi Yang Terlalu Rendah

(Panero & Zelnik, 2003).

 

3.      Panjang alas kursi (kedalaman kursi) juga faktor penting yang menimbulkan ketidaknyamanan duduk seseorang. Bila alas kursi terlalu panjang maka bagian ujung dari alas kursi menekan daerah tepat dibelakang lutut (popliteal), hal ini akan menghambat aliran darah ke kaki sehingga timbul  ketidaknyamanan, seperti pada gambar 4

 

 

Gambar 4.       Akibat Alas Kursi Yang Terlalu Panjang

(Panero & Zelnik, 2003).

 

4.  Panjang alas kursi yang terlalu pendek juga tidak baik karena seseorang cenderung merasa akan jatuh ke depan, disebabkan kecilnya daerah pada bagian bawah paha.

Akibat yang lain,  alas kursi yang terlalu pendek akan menimbulkan tekanan pada pertengahan paha, seperti ditunjukkan pada gambar 5.

 

             Gambar 5   Akibat Alas Kursi Yang Terlalu Pendek

         (Panero & Zelnik, 2003).

 

5.      Bila meja belajar terlalu tinggi maka bahu akan lebih sering terangkat pada saat menulis atau meletakkan tangan di atas meja dan bila terlalu rendah maka sikap tubuh akan membungkuk pada saat menulis. Sikap tubuh yang seperti itu dapat mengakibatkan sakit pada otot-otot pinggang atau punggung dan sakit pada otot-otot leher dan bahu.

6.      Bila kursi kuliah tidak punya sandaran……..